Kamis, 31 Oktober 2019

Berempati Itu Mudah, Menghormati Itu Indah

Wawan Setiawan Tirta
Alangkah senangnya apabila kita berada di tengah-tengah keluarga yang saling menyayangi, menghormati, dan mengasihi. Tidak hanya itu, dengan perilaku hidup saling berbagi juga terasa begitu indah. Ada orang yang membutuhkan, ada orang yang memberikan. Hidup ini terasa sempurna jika semuanya saling memahami akan kebutuhan hidupnya masing-masing.

Akan tetapi, pada kehidupan nyata, pada kenyataannya kita sering melihatn banyak yang jauh menyimpang dari ajaran Islam, atau norma yang ada seperti perilaku durhaka kepada kedua orang tua, tidak menuruti nasihat orang tua dan guru, dan tidak menghargai guru. Perilaku ini apabila dibiarkan akan merugikan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain sehingga akan membuat kehidupan ini tidak nyaman dan tidak tenteram.

Sebagai anak-anak muslim, kita seharusnya tidak melakukan perilaku seperti itu. Bahkan, kita harus menasihati teman-teman yang sering melakukan perbuatan tersebut. Kita harus peduli, meraskan apa yang dirasakan teman kita. Kita wajib menghormati kedua orang tua kita yang telah membesarkan kita. Kita juga wajib menghormati guru-guru kita karena dari merekalah kita sekarang ini bisa membaca dan menulis. Sikap empati atau peduli terhadap orang lain, menghormati orang tua, serta menghormati guru merupakan perilaku terpuji yang harus dijunjung tinggi agar kita menjadi manusia yang sempurna.

Mari Berempati

Empati adalah keadaan mental yang membuat orang merasa dirinya dalam keadaan, perasaan atau pikiran yang sama dengan orang lain. Empati juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menyadari diri sendiri atas perasaan seseorang, lalu bertindak untuk membantunya.

Empati merupakan sifat terpuji. Islam menganjurkan hambanya memiliki sifat ini. Empati sama dengan rasa iba atau kasihan kepada orang lain yang terkena musibah. Islam sangat menganjurkan sikap empati ini, sebagaimana firman Allah Swt. dalam Q.S. an-Nisa/4: 8.
Artinya;
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir beberapa kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik”.

Ayat tersebut menjelaskan apabila ada kerabat, anak yatim, dan orang miskin yang ikut menyaksikan pembagian warisan, maka mereka diberi bagian sekadarnya sebagai tali kasih. Kepedulian terhadap kerabat, anak yatim, dan orang miskin ini tentunya perlu ditumbuhkan. Dan sikap empati ini dapat tumbuh apabila;
  1. Dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain,
  2. Mampu menempatkan diri sebagai orang lain, dan
  3. Menjadi orang lain yang merasakan.

Terkait sikap empati ini, junjungan kita Nabi Besar Rasulullah saw. bersabda.
“Dari Abi Musa r.a. dia berkata, Rasulullah saw. bersabda, ‘Orang mukmin yang satu dengan yang lain bagai satu bangunan yang bagian-bagiannya saling mengokohkan. (H.R. Bukhari)

Hadis di atas, secara tidak langsung mengajarkan kepada kita untuk bisa merasakan apa yang dirasakan orang mukmin yang lain. Apabila ia sakit, kita pun merasa sakit. Apabila ia gembira, kita pun merasa gembira. Allah Swt. menyuruh umat manusia untuk berempati terhadap sesamanya. Peduli dan membantu antar sesama yang membutuhkan. Allah Swt. sangat murka kepada orang-orang yang egois dan
sombong.

Perilaku empati terhadap sesama dalam kehidupan sehari-hari dapat diwujudkan dengan cara:
  1. peka terhadap perasaan orang lain,
  2. membayangkan seandainya aku adalah dia,
  3. berlatih mengorbankan milik sendiri, dan
  4. membahagiakan orang lain.

Mari Menghormati Orang Tua Kita

Siapakah orang yang paling dekat dengan kita sejak lahir? Tentu saja kedua orang tua kita? Merekalah yang membawa kita ke dunia ini dengan izin Allah Swt. Jasa mereka sangatlah besar sehingga kita tidak akan mampu menghitungnya, diantara sekian banyak dan besarnya jasa kedua orang tua kita dapat kita ketahui antara lain:
  1. Ibu mengandung dengan penuh susah payah, dan melahirkan dengan mempertaruhkan nyawanya;
  2. Ibu menyusui selama dua tahun dengan penuh kasih sayang dan terjaga malam hari karena memenuhi kebutuhan anaknya;
  3. Ibu dan ayah memelihara kita sehingga kita siap untuk hidup mandiri;
  4. Ibu dan ayah bekerja keras untuk memenuhi keperluan keluarga;
  5. Ibu dan ayu memberi bekal pendidikan;
  6. Ibu dan ayah memberikan kasih sayang dengan ikhlas tanpa meminta balasan.
Begitu besar jasa orang tua sehingga kita sebagai anak wajib hukumnya berbuat baik kepada keduanya. Allah Swt. memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada keduanya, sebagaimana firman-Nya:
“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil, “Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Dan bertuturkatalah yang baik kepada manusia, laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat.” Tetapi kemudian kamu berpaling (mengingkari), kecuali sebagian kecil dari kamu, dan kamu (masih menjadi) pembangkang.” (Q.S. al-Baqarah/2: 83).

Imam Abu Daud dan Baihaqi meriwayatkan sebuah hadis dari Abdullah bin Amru;
“Dari Abullah bin Umar berkata. Seseorang datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, “Aku akan berbaiat kepadamu untuk berhijrah, dan aku tinggalkan kedua orang tuaku dalam keadaan menangis.” Rasulullah saw. bersabda, “Kembalilah kepada kedua orang tuamu dan buatlah keduanya tertawa sebagaimana engkau telah membuat keduanya menangis.” (H.R. Baihaqi)

Hadis di atas menegaskan kepada kita agar tidak sekali-kali mengecewakan kedua orang tua kita.
Perilaku menghormati kedua orang tua dapat diwujudkan dengan cara berikut ini.

1. Ketika orang tua masih hidup:
  • Memperlakukan keduanya dengan sopan dan hormat;
  • Membantu pekerjaanya;
  • Mengikuti nasihatnya (apabila nasihat itu baik);
  • Membahagiakan keduanya.
2. Ketika orang tua sudah meninggal;
  • Jika keduanya muslim, kamu dapat mendoakan mereka setiap saat agar mendapat ampunan Allah Swt.
  • Melaksanakan wasiatnya;
  • Menyambung dan melanjutkan silaturahmi yang dahulu sudah dilakukan oleh kedua orang tua;
  • Menjaga nama baik mereka.
Umar dan Janda Tua
Pada suatu malam, Khalifah Umar bersama Aslam mengunjungi kampung yang terpencil. Khalifah terperanjat mendengar seorang gadis kecil menangis. Mereka segera bergegas mendekati asal suara itu. Setelah dekat, Umar melihat seorang perempuan tua tengah memanaskan panci di atas tungku api, sambil mengaduk-aduk isi panci dengan sendok kayu yang panjang.
Umar pun menanyakan perihal anaknya yang menangis itu. Ibu tersebut menjawab, “Aku memasak batu-batu ini untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan Khalifah Umar bin Khattab. Ia tidak mau melihat rakyatnya yang sengsara Sungguh kejam! Sejak dari pagi kami belum makan. Anakku pun kusuruh berpuasa, dengan harapan ketika waktu berbuka kami mendapat rejeki. Namun, ternyata tidak. Anakku terpaksa tidur dengan perut kosong. Aku mengumpulkan batu-batu kecil dan memasaknya untuk membohongi anakku, dengan harapan ia akan tertidur. Ternyata tidak, mungkin karena lapar, ia bangun dan menangis minta makan.”
Mendengar keluhan si Ibu, dengan air mata berlinang Khalifah Umar bangkit dan mengajak Aslam cepat-cepat pulang ke Madinah. Tanpa istirahat lagi, Umar segera memikul gandum di punggungnya untuk diberikan kepada janda tua yang sengsara itu.
Ketika sampai di tempat, Khalifah Umar meletakkan karung berisi gandum dan beberapa liter minyak samin ke tanah, kemudian memasaknya. Setelah masak Khalifah Umar meminta Si Ibu membangunkan anaknya. Wanita itu berkata, “Terima kasih, semoga Allah membalas perbuatanmu.” Sebelum pergi Khalifah Umar menyuruh si Ibu untuk datang menemui Khalifah Umar, karena Khalifah akan memberikan haknya sebagai penerima santunan negara.
Esok harinya wanita itu pergi menemui Khalifah Umar bin Khattab r.a. Tatkala wanita tersebut bertemu dengan sang Khalifah, betapa terkejutnya dia. Tak dinyana Khalifah Umar adalah orang yang memanggulkan dan memasakkan gandum tadi malam.
(Sumber: Kisah Penuh Hikmah, Anisa Widiyarti)

Mari Menghormati Guru

Kita harus berbuat baik atau berbakti kepada kedua orang tua. Kita juga diperintahkan untuk berbuat baik atau berbakti kepada guru. Gurulah yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu kepada kita. Sebagai pendidik, guru membentuk kita menjadi manusia yang beriman, mengerti baik dan buruk, berbudi pekerti luhur, dan menjadi orang yang bertanggung jawab, baik kepada diri sendiri, masyarakat, bangsa, maupun negara.

Gurulah yang menjadikan kita orang yang pandai dan memahami ilmu pengetahuan. Dengan demikian, kita akan memperoleh kedudukan yang tinggi di hadapan
Allah Swt., sebagaimana firman-Nya.
”...Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang berilmu pengetahuan beberapa derajat...” (Q.S. al-Mujadalah/58:11)

Cara berbakti kepada guru, antara lain dengan bersikap:
  1. Mengucapkan salam apabila bertemu;
  2. Memperhatikan apabila diajak bicara di dalam dan di luar kelas
  3. Rendah hati, sopan, dan menghargai;
  4. Melaksanakan nasihatnya;
  5. Melaksanakan tugas belajar dengan ikhlas.
Imam Syafi’i Hormat kepada Gurunya
Dikisahkan, Imam Syafi’i yang sedang mengajar santri-santrinya di kelas, tiba-tiba dikejutkan kedatangan dengan seseorang berpakaian lusuh, kumal dan kotor. Seketika itu Imam Syafi’i mendekati dan memeluknya. Para santri kaget dan heran melihat perilaku gurunya itu. Mereka bertanya: “Siapa dia wahai Guru, sampai engkau memeluknya erat-erat. Padahal ia kumuh, kotor, dan menjijikkan?”
Imam Syafi’i menjawab: “Ia guruku. Ia telah mengajariku tentang perbedaan antara anjing yang cukup umur dengan anjing yang masih kecil. Pengetahuan itulah yang membuatku bisa menulis buku fiqih ini.”
Sungguh mulia akhlak Imam Syafi’i. Ia menghormati semua guru-gurunya, meskipun dari masyarakat biasa.