Jumat, 08 November 2019

Catatan Singkat Kolonialisme dan Imperialisme Barat di Indonesia

Wawan Setiawan Tirta
Kolonialisme berasal dari kata Koloni, yang menurut bahasa latin artinya pemukiman. Jadi kolonialisme adalah Upaya yang dilakukan negara-negara penguasa dalam rangka menguasai suatu daerah/wilayah untuk mendapatkan sumber daya. Kemudian apa itu imperialisme? Imperialisme sebenarnya sudah ada sejak abad ke 19 yang pada awalnya dicetuskan oleh Benjamin Disraeli, Perdana Menteri Inggris saat itu. Imperialisme berasal dari kata "imperator" yang artinya memerintah. Imperialisme adalah suatu sistem dalam dunia politik yang bertujuan untuk menguasai negara lain dalam memperoleh kekuasaan atau keuntungan dari negara yang dikuasainya. Dari uraian tersebut, ada persamaan antara kolonialisme dan imperialisme. Persamaan kolonialisme dan imperialisme adalah menguntungkan negara penguasa atau negara yang melakukan kolonialisme dan imperialisme serta membuat negara tersebut makmur, akan tetapi di sisi lain negara yang menjadi korban merasakan kesengsaraan.

Walaupun demikian, ada perbedaan antara kolonialisme dan imperialisme yaitu; Bahwa kolonialisme bertujuan untuk menguras habis semua sumber daya yang ada dan kemudian dibawa ke negaranya. Sementara imperialisme bertujuan untuk menanamkan pengaruh pada semua bidang kehidupan negara yang bersangkutan.

Pada permulaan abad pertengahan, orang-orang Eropa sudah mengenal hasil-hasil dari Dunia Timur, terutama rempah-rempah dari Indonesia. Dengan jatuhnya Konstantinopel ke tangan Turki Usmani (1453), mengakibatkan hubungan perdagangan antara Eropa dengan Asia Barat (Timur Tengah) menjadi terputus. Hal ini mendorong orang-orang Eropa mencari jalan sendiri ke Dunia Timur untuk mendapatkan rempah-rempah yang sangat mereka butuhkan. Melalui penjelajahan samudra, akhirnya bangsa-bangsa Barat berhasil mencapai Indonesia. Kedatangan bangsa-bangsa Barat di Indonesia pada mulanya lewat kongsi-kongsi perdagangan. Kongsi-kongsi perdagangan tersebut berusaha untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Indonesia melalui praktik monopoli.

Adapun faktor-faktor yang mendorong bangsa-bangsa Barat pergi ke Dunia Timur adalah sebagai berikut.
  1. Dikuasainya rute dan pusat-pusat perdagangan oleh orang-orang Islam.
  2. Adanya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu dengan diketemukan peta dan kompas, yang sangat penting bagi pelayaran.
  3. Adanya keinginan untuk mendapatkan rempah-rempah dari daerah asal, sehingga harganya lebih murah dan dapat memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.
  4. Adanya keinginan untuk melanjutkan "Perang Salib" dan menyebarkan agama Nasrani ke daerah-daerah yang dikunjungi.
  5. Adanya jiwa petualangan, sehingga menggugah semangat untuk melakukan penjelajahan samudra.
a. Masuknya Bangsa Portugis ke Indonesia

Melalui penjelajahan samudra, bangsa Portugis telah berhasil mencapai Kalikut India (1498). Bangsa Portugis berhasil mendirikan kantor dagangnya di Goa (1509). Pada tahun 1511 di bawah pimpinan d'Albuquerque, Portugis berhasil menguasai Malaka. Dari Malaka di bawah pimpinan d'Abreu tahun 1512 Portugis telah sampai di Maluku dan diterima baik oleh Sultan Ternate yang pada waktu itu sedang bermusuhan dengan Tidore. Portugis berhasil mendirikan benteng dan mendapatkan hak monopoli perdagangan rempah-rempah. Selain mengadakan monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku, Portugis juga aktif menyebarkan agama Kristen (Katolik) dengan tokohnya yang terkenal ialah Franciscus Xaverius. Portugis tidak hanya memusatkan kegiatannya di Indonesia bagian timur (Maluku), tetapi juga ke Indonesia bagian barat (Pajajaran). Pada tahun 1522 Portugis datang ke Pajajaran di bawah pimpinan Henry Leme dan disambut baik oleh Pajajaran dengan maksud agar Portugis mau membantu dalam menghadapi ekspansi Demak.

Terjadilah Perjanjian Sunda Kelapa (1522) antara Portugis dan Pajajaran, yang isinya :
  1. Portugis diizinkan mendirikan benteng di Sunda Kelapa.
  2. Pajajaran akan menerima barang-barang yang dibutuhkan dari bangsa Portugis termasuk senjata.
  3. Portugis akan memperoleh lada dari Pajajaran menurut kebutuhannya.
  4. Awal tahun 1527 Portugis datang lagi ke Pajajaran untuk merealisasi Perjanjian Sunda Kelapa, namun disambut dengan pertempuran oleh pasukan Demak di bawah pimpinan Fatahilah. Pertempuran berakhir dengan kemenangan Demak, dan berhasil merebut Sunda Kelapa (1527) yang kemudian namanya diganti menjadi Jayakarta, artinya kerajaan yang jaya (menang).
b. Masuknya Bangsa Spanyol ke Indonesia

Kedatangan bangsa Portugis sampai di Indonesia (Maluku) segera diikuti oleh bangsa Spanyol. Ekspedisi bangsa Spanyol di bawah pimpinan Magelhaen, pada tanggal 7 April 1521 telah sampai di Pulau Cebu. Rombongan Magelhaen diterima baik oleh raja Cebu, sebab pada waktu itu Cebu sedang bermusuhan dengan Mactan. Dalam pertentangan ini Magelhaen membantu Cebu, namun harus dibayar mahal sebab dalam peperangan ini Magelhaen terbunuh. Dengan meninggalnya Magelhaen, ekspedisi bangsa Spanyol di bawah pimpinan Sebastian de Elcano melanjutkan usahanya untuk menemukan daerah asal rempah-rempah. Dengan melewati kepulauan Cagayan dan Minandao akhirnya sampai di Maluku (1521). Kedatangan bangsa Spanyol ini diterima baik oleh Sultan Tidore, yang saat itu sedang bermusuhan dengan Portugis. Sebaliknya, kedatangan Spanyol di Maluku bagi Portugis merupakan pelanggaran atas "hak monopoli". Oleh karena itu timbullah persaingan antara Portugis dan Spanyol. Sebelum terjadi perang besar, akhirnya diadakan Perjanjian Saragosa (22 April 1529) yang isinya:
  • Spanyol harus meninggalkan Maluku dan memusatkan kegiatannya di Filipina.
  • Portugis tetap melakukan aktivitas perdagangan di Maluku.
c. Masuknya Bangsa Belanda ke Indonesia

Sebelum datang ke Indonesia, para pedagang Belanda membeli rempahrempah di Lisabon (ibu kota Portugis). Pada waktu itu Belanda masih berada di bawah penjajahan Spanyol. Mulai tahun 1585, Belanda tidak lagi mengambil rempah-rempah dari Lisabon, karena Portugis dikuasai oleh Spanyol. Dengan putusnya hubungan perdagangan rempah-rempah antara Belanda dan Spanyol, mendorong bangsa Belanda untuk mengadakan penjelajahan samudra. Pada bulan April 1595, Belanda memulai pelayaran menuju Nusantara dengan empat buah kapal di bawah pimpinan Coernelis de Houtman. Dalam pelayarannya menuju ke timur, Belanda menempuh rute: pantai barat Afrika - Tanjung Harapan - Samudra Hindia - Selat Sunda - Banten. Pada saat itu Banten berada di bawah pemerintahan Maulana Muhammad (1580-1605). Kedatangan rombongan Coernelis de Houtman, pada mulanya diterima baik oleh masyarakat Banten dan juga diizinkan untuk berdagang di Banten. Oleh karena sikap yang kurang baik dari bangsa Belanda, kemudian diusir dari Banten. Selanjutnya, orang-orang Belanda meneruskan perjalanan ke timur sehingga sampai di Bali.

Rombongan kedua dari negeri Belanda di bawah pimpinan Yacob Van Neck dan Van Waerwyck, dengan delapan buah kapalnya tiba di Banten pada bulan November 1598. Pada saat itu hubungan Banten dengan Portugis sedang memburuk, sehingga kedatangan bangsa Belanda diterima dengan baik. Sikap Belanda sendiri juga sangat hati-hati dan pandai mengambil hati para pedagang Banten, sehingga tiga buah kapal mereka penuh dengan muatan rempahrempah (lada) dan dikirim ke negeri Belanda, sedangkan lima buah kapalnya yang lain menuju ke Maluku.

Keberhasilan rombongan Van Neck dalam perdagangan rempah-rempah, mendorong orang-orang Belanda yang lain untuk datang ke Indonesia. Akibatnya terjadi persaingan antara pedagang-pedagang Belanda sendiri. Masing-masing kongsi, bersaing secara ketat. Di samping itu mereka juga harus menghadapi persaingan dengan Portugis, Spanyol, dan Inggris. Melihat gelagat yang demikian, Van Olden Barneveld menyarankan untuk membentuk perserikatan dagang yang mengurusi perdagangan di Dunia Timur. Pada tahun 1602 secara resmi terbentuklah Vereenigde Oost Indiesche Compagnie (VOC), yang berarti Perserikatan Dagang Hindia Timur. VOC kemudian membuka kantorbdagangnya yang pertama di di Banten (1602) di kepalai oleh Francois Wittert.

Tahukah Anda tujuan dibentuknya VOC?
Adapun tujuan dibentuknya VOC adalah sebagai berikut.
  1. Untuk menghindari persaingan yang tidak sehat antara sesama pedagang Belanda.
  2. Untuk memperkuat posisi Belanda dalam menghadapi persaingan, baik dengan sesama bangsa Eropa maupun dengan bangsa-bangsa Asia.
  3. Untuk mendapatkan monopoli perdagangan, baik impor maupun ekspor.
  4. Untuk membantu pemerintah Belanda yang sedang berjuang menghadapi Spanyol yang menguasainya.
VOC yang didirikan pada tahun 1602 oleh pemerintah negeri Belanda diberikan octrooi (hak istimewa), yakni sebagai berikut.
  1. Hak monopoli perdagangan.
  2. Hak untuk memiliki tentara.
  3. Hak untuk melakukan ekspansi ke Asia, Afrika, dan Australia.
  4. Hak untuk melakukan peperangan, membuat perdamaian, dan mengadakan perjanjian dengan raja-raja yang dikuasainya.
  5. Hak untuk mencetak uang.
Dengan hak-hak istimewa tersebut, VOC bukan saja sebagai kongsi dagang tetapi juga merupakan pemerintahan semi resmi. Pada tahun 1605, VOC di bawah pimpinan Steven van der Haagen berhasil merebut benteng Portugis di Ambon. Untuk memperkuat kedudukannya, VOC mengangkat seorang pimpinan yang berpangkat Gubernur Jenderal. Untuk membantu Gubernur Jenderal, di daerah-daerah penting diangkat seorang Gubernur. Gubernur Jenderal yang pertama ialah Pieter Both dan berkedudukan di Ambon; karena Ambon merupakan pangkalan dagang VOC yang paling kuat dan strategis.
Dalam perkembangannya, Ambon dinilai tidak strategis lagi. Perhatian VOC ditujukan ke Jayakarta, kota pelabuhan Kerajaan Banten. Di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen (J.P. Coen) tahun 1619, VOC berhasil merebut Jayakarta sebagai markas besar VOC. J.P. Coen kemudian mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia, sesuai dengan nama salah satu suku di negeri Belanda yakni suku Batavia. Selanjutnya Batavia dijadikan markas besar VOC, sebagai tempat kedudukan Gubernur Jenderal dan menjadi pangkalan imperialisme Belanda di Indonesia. Dengan berdirinya kota Batavia sebagai markas besar VOC, maka kedudukan VOC semakin kuat. VOC terus mengadakan perluasan wilayah kekuasaannya. Untuk mendapatkan keuntungan sebasar-besarnya melalui perdagangan, VOC melaksanakan sistem monopoli. Pelaksanaan sistem monopoli VOC lebih keras dari pada bangsa Portugis, terutama di Maluku. Untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap peraturan monopolinya, VOC melakukan pelayaran hongi. Praktik monopoli dan pelayaran hongi seperti tersebut di atas yang kemudian menimbulkan kebencian di kalangan rakyat. Rakyat yang hidup tertekan dan tertindas, akhirnya melakukan perlawanan terhadap VOC.

2. Perlawanan Rakyat dan Bangsa Indonesia Melawan VOC

a. Perlawanan Rakyat Maluku Melawan VOC
Pada tahun 1605 Belanda mulai memasuki wilayah Maluku dan berhasil merebut benteng Portugis di Ambon. Praktik monopoli dengan sistem pelayaran hongi menimbulkan kesengsaran rakyat. Pada tahun 1635 muncul perlawanan rakyat Maluku terhadap VOC di bawah pimpinan Kakiali, Kapten Hitu. Perlawanan segera meluas ke berbagai daerah. Oleh karena kedudukan VOC terancam, maka Gubernur Jederal Van Diemen dari Batavia dua kali datang ke Maluku (1637 dan 1638) untuk menegakkan kekuasaan Kompeni.

Untuk mematahkan perlawanan rakyat Maluku, Kompeni menjanjikan akan memberikan hadiah besar kepada siapa saja yang dapat menangkap Kakiali. Akhirnya seorang pengkhianat berhasil menangkap Kakiali, gugurlah beliau. Dengan gugurnya Kakiali, untuk sementara Belanda berhasil mematahkan perlawanan rakyat Maluku, sebab setelah itu muncul lagi perlawanan sengit dari orang-orang Hitu di bawah pimpinan Telukabesi. Perlawanan ini baru dapat dipadamkan pada tahun 1646. Pada tahun 1650 muncul perlawanan di Ambon yang dipimpin oleh Saidi. Perlawanan meluas ke daerah lain, seperti Seram, Maluku, dan Saparua. Pihak Belanda agak terdesak, kemudian minta bantuan ke Batavia. Pada bulan Juli 1655 bala bantuan datang di bawah pimpinan Vlaming van Oasthoom dan terjadilah pertempuran sengit di Howamohel. Pasukan rakyat terdesak, Saidi tertangkap dan dihukum mati, maka patahlah perlawanan rakyat Maluku.

Sampai akhir abad ke-17 tidak ada lagi perlawanan menentang VOC. Pada akhir abad ke-18, muncul lagi perlawanan rakyat Maluku di bawah pimpinan Sultan Jamaluddin, namun segera dapat ditangkap dan diasingkan ke Sailan (Sri Langka). Menjelang akhir abad ke-18 (1797) muncullah perlawanan besar rakyat Maluku di bawah pimpinan Sultan Nuku dari Tidore. Sultan Nuku berhasil merebut kembali Tidore dari tangan VOC. Akan tetapi setelah Sultan Nuku meninggal (1805), VOC dapat menguasai kembali wilayah Tidore.

b. Mataram Menghadapi VOC
Sultan Agung (1613-1645) adalah raja terbesar Mataram yang bercita-cita: (1) mempersatukan seluruh Jawa di bawah Mataram, dan (2) mengusir Kompeni (VOC) dari Pulau Jawa. Untuk merealisir cita-citanya, ia bermaksud membendung usaha-usaha Kompeni menjalankan penetrasi politik dan monopoli perdagangan.

Pada tanggal 18 Agustus 1618, kantor dagang VOC di Jepara diserbu oleh Mataram. Serbuan ini merupakan reaksi pertama yang dilakukan oleh Mataram terhadap VOC. Pihak VOC kemudian melakukan balasan dengan menghantam pertahanan Mataram yang ada di Jepara. Sejak itu, sering terjadi perlawanan antara keduanya, bahkan Sultan Agung berketetapan untuk mengusir Kompeni dari Batavia.

Serangan besar-besaran terhadap Batavia, dilancarkan dua kali. Serangan pertama, pada bulan Agustus 1628 dan dilakukan dalam dua gelombang. Gelombang I di bawah pimpinan Baurekso dan Dipati Ukur, sedangkan gelombang II di bawah pimpinan Suro Agul-Agul, Manduroredjo, dan Uposonto. Batavia dikepung dari darat dan laut selama tiga bulan, tetapi tidak menyerah. Bahkan sebaliknya, tentara Mataram akhirnya terpukul mundur. Serangan kedua dilancarkan pada bulan September 1629 di bawah pimpinan Dipati Purbaya dan Tumenggung Singaranu. Akan tetapi serangan yang kedua ini pun juga mengalami kegagalan. Kegagalan serangan-serangan tersebut disebabkan:
  1. Kalah persenjataan.
  2. Kekurangan persediaan makanan, karena lumbung-lumbung persediaan makanan yang dipersiapkan di Tegal, Cirebon, dan Kerawang telah dimusnahkan oleh Kompeni.
  3. Jarak Mataram - Batavia terlalu jauh.
  4. Datanglah musim penghujan, sehingga taktik Sultan Agung untuk membendung sungai Ciliwung gagal.
  5. Terjangkitnya wabah penyakit yang menyerang prajurit Mataram.
c. Perlawanan Trunojoyo (1674-1680)
Trunojoyo, seorang keturunan bangsawan dari Madura tidak senang terhadap Amangkurat I, karena pemerintahannya yang sewenang-wenang dan menjalin hubungan dengan Kompeni. Perlawanan Trunojoyo di mulai pada tahun 1674, dengan menyerang Gresik. Dengan berpusat di Demung (dekat Panarukan), Trunojoyo melakukan penyerangan dan dalam waktu singkat telah berhasil menguasai beberapa daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah bahkan sampai pusat Mataram di Plered (Yogyakarta). Dalam perlawanan ini, Trunojoyo dibantu oleh Raden Kajoran, Macan Wulung, Karaeng Bontomarannu, dan Karaeng Galesung. Pada tanggal 2 Juli 1677, pasukan Trunojoyo telah berhasil menduduki Plered, ibukota Mataram. Amangkurat I yang sering sakit bersama putra mahkota, Adipati Anom melarikan diri untuk minta bantuan kepada Kompeni di Batavia. Dalam perjalanan, Amangkurat I meninggal di Tegal Arum (selatan Tegal), sehingga dikenal dengan sebutan Sultan Tegal Arum. Adipati Anom kemudian menaiki takhta dengan gelar Amangkurat II. Untuk menghadapi Trunojoyo, Amangkurat II minta bantuan Kompeni, akan tetapi tidak ke Batavia namun ke Jepara. Pimpinan Kompeni (VOC) Speelman menerima dengan baik Amangkurat II dan bersedia membantu dengan suatu perjanjian (1678) yang isinya:
  1. VOC mengakui Amangkurat II sebagai raja Mataram.
  2. VOC mendapatkan monopoli dagang di Mataram.
  3. Seluruh biaya perang harus diganti oleh Amangkurat II
  4. Sebelum hutangnya lunas, pantai utara Jawa digadaikan kepada VOC.
  5. Mataram harus menyerahkan daerah Kerawang, Priangan, Semarang dan sekitarnya kepada VOC.

Setelah perjanjian ini ditandatangani penyerangan di mulai. Pada waktu itu Trunojoyo telah berhasil mendirikan istana di Kediri dengan gelar Prabu Maduretno. Tentara VOC di bawah pimpinan Anthonie Hurdt, yang dibantu oleh tentara Aru Palaka dari Makasar, Kapten Jonker dari Ambon beserta tentara Mataram menyerang Kediri. Dengan mati-matian tentara Trunojoyo menghadapi pasukan gabungan Mataram-VOC, tetapi akhirnya terpukul mundur. Pasukan Trunojoyo terus terdesak, masuk pegunungan dan menjalankan perang gerilya. Demi keselamatan sebagian pengikutnya, pada tanggal 25 Desember 1679 menyerah dan akhirnya gugur ditikam keris oleh Amangkurat II pada tanggal 2 Januari 1680. Dengan gugurnya Trunojoyo, terbukalah jalan bagi VOC untuk meluaskan wilayah dan kekuasaannya di Mataram.

d. Perlawanan Untung Suropati (1868-1706)
Untung, menurut cerita adalah seorang putra bangsawan dari Bali, yang dibawa pegawai VOC ke Batavia. Semula Untung dijadikan tentara VOC di Batavia. Dalam peristiwa Cikalong (1684), merasa harga dirinya direndahkan, maka Untung berbalik melawan VOC. Dengan peristiwa Cikalong tersebut, Untung tidak kembali ke Batavia, namun melanjutkan perlawanan menuju Cirebon. Di Cirebon terjadi perkelahian dengan Suropati dan Untung menang sehingga namanya digabungkan menjadi Untung Suropati. Dari Cirebon Untung terus melanjutkan perjalanan menuju Kartasura, dan disambut baik oleh Amangkurat II yang telah merasakan beratnya perjanjian yang dibuat dengan VOC. Pada tahun 1686, datanglah utusan VOC di Kartasura di bawah pimpinan Kapten Tack dengan maksud: (1) merundingkan soal hutang Amangkurat II, dan (2) menangkap Untung. Amangkurat II menghindari pertemuan ini dan terjadilah pertempuran. Kapten Tack bersama anak buahnya berhasil dihancurkan oleh Untung, dan Untung kemudian melanjutkan perjalanan ke Jawa Timur hingga sampai di Pasuruan. Di Pasuruan inilah Untung Suropati berhasil mendirikan istana dan mengangkat dirinya menjadi adipati dengan gelar Adipati Ario Wironegoro, dengan wilayah seluruh Jawa Timur, antara lain Blambangan, Pasuruhan, Probolinggo, Malang, Kediri dan Bangil. Di Bangil, dibangun perbentengan guna menghadapi VOC.

Pada tahun 1703, Amangkurat II wafat, putra mahkota Sunan Mas naik takhta. Raja baru ini benci terhadap Belanda dan condong terhadap perlawanan Untung. Pangeran Puger (adik Amangkurat II) yang ingin menjadi raja, pergi ke Semarang dan minta bantuan kepada VOC agar diakui sebagai raja Mataram. Pada tahun 1704, Pangeran Puger dinobatkan menjadi raja dengan gelar PakuBuwono I. Pada tahun 1705 Paku Buwono I dan VOC menyerang Mataram. Sunan Mas melarikan diri dan bergabung dengan pasukan Untung di Jawa Timur. Oleh pihak Kompeni di Batavia, dipersiapkan pasukan secara besar-besaran untuk menyerang Pasuruan. Di bawah pimpinan Herman de Wilde, pasukan Kompeni berhasil mendesak perlawanan Untung. Dalam perlawanan di Bangil, Untung Suropati terluka dan akhirnya pada tanggal 2 Oktober 1706 gugur. Jejak perjuangannya diteruskan oleh putra-putra Untung, namun akhirnya berhasil dipatahkan oleh Kompeni. Bahkan Sunan Mas sendiri akhirnya menyerah, kemudian dibawa ke Batavia, dan diasingkan ke Sailan (1708).

e. Makasar Menghadapi VOC
Pada abad ke-17 di Sulawesi Selatan telah muncul beberapa kerajaan kecilmseperti Gowa, Tello, Sopeng, dan Bone. Di antara kerajaan tersebut yang munculmmenjadi kerajaan yang paling kuat ialah Gowa, yang lebih dikenal dengan nama Makasar. Adapun faktor-faktor yang mendorong perkembangan Makasar, antara lain :
  1. Letak Makasar yang sangat strategis dalam lalu lintas perdagangan Malaka-Batavia-Maluku.
  2. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511.
  3. Timbulnya Banjarmasin sebagai daerah penghasil lada, yang hasilnya dikirim ke Makasar.
Usaha penetrasi kekuasaan terhadap Makasar oleh VOC dalam rangka melaksanakan monopolinya menyebabkan hubungan Makasar - VOC yang semula baik menjadi retak bahkan akhirnya menjadi perlawanan. Hal ini dikarenakan Makasar selalu menerobos monopoli VOC dan selalu membantu rakyat Maluku melawan Kompeni. Pertempuran besar meletus pada tahun 1666, ketika Makasar di bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin (1654-1670). Dalam hal ini VOC berkoalisi dengan Kapten Jonker dari Ambon, Aru Palaka dari Bone, dan di pihak VOC sendiri dipimpin oleh Speelman. Makasar dikepung dari darat dan laut, yang akhirnya pertahanan Makasar berhasil dipatahkan oleh VOC. Para pemimpin yang tidak mau menyerah, seperti Karaeng Galesung dan Karaeng Bontomarannu melarikan diri ke Jawa (membantu perlawanan Trunojoyo). Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667, yang isinya :
  1. Wilayah Makasar terbatas pada Goa, wilayah Bone dikembalikan kepada Aru Palaka.
  2. Kapal Makasar dilarang berlayar tanpa izin VOC.
  3. Makasar tertutup untuk semua bangsa, kecuali VOC dengan hak monopolinya.
  4. Semua benteng harus dihancurkan, kecuali satu benteng Ujung Pandang yang kemudian diganti dengan nama Benteng Roterrdam.
  5. Makasar harus mengganti kerugian perang sebesar 250.000 ringgit.
Sultan Hasanuddin walaupun telah menandatangani perjanjian tersebut, karena dirasa sangat berat dan sangat menindas; maka perlawanan muncul kembali (1667-1669). Makasar berhasil dihancurkan dan dinyatakan menjadi milik VOC.

f. Perlawanan Banten Melawan VOC
Pada waktu orang-orang Belanda datang pertama kali di Banten (1596), Banten berada di bawah pemerintahan Maulana Muhammad. Pada saat itu Banten telah berkembang menjadi kota bandar yang ramai. Wilayah Banten meliputi seluruh Banten, Priangan, dan Cirebon. Maksud kedatangan Belanda yang semula berdagang, maka disambut dengan baik. Akan tetapi setelah Kompeni malakukan monopoli dan penetrasi politik, hubungan Banten - VOC menjadi buruk, bahkan sering terjadi pertentangan; lebih-lebih setelah VOC berhasil menduduki kota Jayakarta pada tahun 1619. Pertentangan Banten - VOC menjadi perlawanan besar, setelah Banten dibawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtoyoso ( 1651 - 1682). Dalam hal ini VOC melakukan politik "devide et impera". Pada tahun 1671 Sultan Ageng Tirtoyoso mengangkat putra mahkota (dikenal dengan sebutan Sultan Haji karena pernah naik haji) sebagai pembantu yang mengurusi urusan dalam negeri, sedangkan urusan luar negeri dipercayakan kepada Pangeran Purboyo (adik Sultan Haji). Atas hasutan VOC, Sultan Haji mencurigai ayahnya dan menyatakan bahwa ayahnya ingin mengangkat Pangeran Purboyo sebagai raja Banten. Pada tahun 1680, Sultan Haji berusaha merebut kekuasaan, sehingga terjadilah perangterbuka antara Sultan Haji yang dibantu VOC melawan Sultan Ageng Tirtoyoso (ayahnya) yang dibantu Pangeran Purboyo. Sultan Ageng Tirtoyoso dan Pangeran Purboyo terdesak ke luar kota, dan akhirnya Sultan Ageng Tirtoyoso berhasil di tawan oleh VOC; sedangkan Pangeran Purboyo mengundurkan diri ke daerah Priangan. Pada tahun 1682 Sultan Haji dipaksa oleh VOC untuk menandatangani suatu perjanjian yang isinya :
  1. VOC mendapat hak monopoli dagang di Banten dan daerah pengaruhnya.
  2. Banten dilarang berdagang di Maluku.
  3. Banten melepaskan haknya atas Cirebon.
  4. Sungai Cisadane menjadi batas wilayah Banten dengan VOC.
Sejak adanya perjanjian ini, maka penguasa Banten sebenarnya ialah VOC.