Senin, 13 April 2020

Sejarah Singkat Perlawanan Pangeran Diponegoro (1825 - 1830)

Wawan Setiawan Tirta
Pangeran Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Bendoro Raden Mas Ontowiryo.

Walaupun merupakan keturunan ningrat, Diponegoro lebih suka pada kehidupan yang merakyat sehingga membuatnya lebih suka tinggal di Tegalrejo yang merupakan tempat tinggal dari eyang buyut putrinya, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I, Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo daripada di Keraton.

Pada permulaan abad ke-19 pengaruh Belanda di Surakarta dan Yogyakarta makin bertambah kuat. Khususnya di Yogyakarta, campur tangan Belanda telah menimbulkan kekecewaan-kekecewaan di kalangan kerabat keraton yang kemudian menimbulkan perlawanan di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.

Sebab-sebab perlawanan Diponegoro, antara lain sebagai berikut.
  1. Adanya kekecewaan dan kebencian kerabat istana terhadap tindakan Belanda yang makin intensif mencampuri urusan keraton melalui Patih Danurejo (kaki tangan Belanda).
  2. Adanya kebencian rakyat pada umumnya dan para petani khususnya, akibat tekanan pajak yang sangat memberatkan.
  3. Adanya kekecewaan di kalangan para bangsawan, karena hak-haknya banyak yang dikurangi.
  4. Sebagai sebab khususnya ialah adanya pembuatan jalan oleh Belanda melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo.
Pertempuran meletus pada tanggal 20 Juli 1825 di Tegalrejo. Setelah pertempuran di Tegalrejo, Pangeran Diponegoro dan pasukannya menyingkir ke Dekso. Di daerah Plered, pasukan Diponegoro dipimpin oleh Kertapengalasan yang memiliki kemampuan yang cukup kuat.

Kabar mengenai pecahnya perang melawan Belanda segera meluas ke berbagai daerah. Dengan dikumandangkannya "Perang Sabil" di Surakarta oleh Kyai Mojo, di Kedu oleh Kyai Hasan Besari, dan di daerah-daerah lain; maka pada pertempuran-pertempuran tahun 1825-1826 pasukan Belanda banyak terpukul dan terdesak.

Melihat kenyatan ini, kemudian Belanda meng-gunakan usaha dan tipu daya untuk mematahkan perlawanan, antara lain:
  1. Siasat benteng stelsel, yang dilakukan oleh Jenderal De Kock mulai tahun 1827;
  2. Siasat bujukan, agar perlawanan menjadi reda;
  3. Siasat pemberian hadiah sebesar 20.000,- ringgit kepada siapa saja yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro;
  4. Siasat tipu muslihat, yaitu ajakan berunding dengan Pangeran Diponegoro dan akhirnya ditangkap.
Dengan berbagai tipu daya, akhirnya satu persatu pemimpin perlawanan tertangkap dan menyerah, antara lain, Pangeran Suryamataram dan Ario Prangwadono (tertangkap 19 Januari 1827); Pangeran Serang dan Notoprodjo (menyerah 21 Juni 1827); Pangeran Mangkubumi (menyerah 27 September 1829), dan Alibasah Sentot Prawirodirdjo (menyerah tanggal 24 Oktober 1829).

Kesemuanya itu merupakan pukulan yang berat bagi Pangeran Diponegoro. Melihat situasi yang demikian, pihak Belanda ingin menyelesaikan perang secara cepat. Jenderal De Kock, melakukan tipu muslihat dengan ajakan berunding, dan bila perundingan gagal, Diponegoro diperbolehkan kembali ke pertahanan. Atas dasar janji tersebut, Diponegoro bersedia berunding di rumah Residen Kedu, Magelang pada tanggal 28 Maret 1830, namun akhirnya Pangeran Diponegoro ditangkap. Pangeran Diponegoro kemudian di bawa ke Batavia, kemudian ke Manado, dan tahun 1834 dipindahkan ke Makasar hingga wafatnya pada tanggal 8 Januari 1855.